Flavia Celly Jatmiko "Miss Aceh" Rasa Surabaya, Panitia Miss Indonesia 2016 Dinilai tak Bermoral


Ajang Miss Indonesia 2016 kembali digelar oleh pihak Yayasan Miss Indonesia yang diketuai oleh Liliana Tanaja Tanoesodibjo, istri Harie Tanoe Soedibjo.

34 Finalis Miss Indonesia 2016 mulai mengikuti karantina sejak 12 Januari hingga 25 Februari 2016 mendatang. Acara puncak digelar pada 24 Februari 2016 bertempat di Studio 14 RCTI, Kebon Jeruk Jakarta.

Acara yang dibackup dan disiarkan secara langsung oleh RCTI dan Global TV ini mendapat protes dari salah seorang warga Aceh, Muhajir Juli, karena mengikutsertakan "Miss Aceh" yang dinilainya sebagai pelecehan dan penghinaan terhadap Aceh Darussalam yang bersyariatkan Islam.

Muhajir Juli, putra Aceh kelahiran Gampong Teupin Mane, Kecamatan Juli, Bireuen yang juga merupakan mentor jurnalistik mahasiswa ini menulis protesnya di blognya pada 19 Februari 2016. Berikut tulisannya:

"Miss Aceh Rasa Surabaya, Panitia Miss Indonesia tak Bermoral"

Penyelenggara Miss Indonesia 2016 kembali melakukan kesalahan fatal. Mereka –lagi dan lagi- mencatut nama Aceh agar kuota perwakilan ajang “penelanjangan tubuh tubuh wanita” kembali memenuhi kuota.

Kali ini, yang “mewakili” Aceh adalah Flavia Celly, perempuan kelahiran Surabaya, 10 Agustus 1994. Wanita yang sangat tertarik pada dunia modeling ini, telah mengkudeta Aceh dengan cara menjadi perwakilan illegal dara Aceh dalam ajang miss-missan yang tidak sesuai dengan kaidah dan nilai-nilai keacehan.

Seorang dara belia, dan tentunya juga panitia penyelenggara yang juga istri dari Ketua Umum Partai Perindo, Harie Tanoe Soedibjo, Liliana Tanaja Tanoesodibjo, telah mencoreng wajah Pemerintah Aceh dengan t**i.

Ini sebuah bentuk kekurangajaran dari mereka yang mengaku “berperadaban tinggi” namun bersikap dan berlaku primitif. Bar-bar, layak disebut perampok. Hanya demi sebuah acara jahiliyah –dalam pandangan saya- telah dengan sengaja mencatut nama daerah yang tidak mengirimkan perwakilannya.

Di tahun 2015 lalu, Liliana juga melakukan hal yang sama. Lagi-lagi, perempuan asal Surabaya yang menjadi “wakil” Aceh.

Liliana, sebagai chairman kegiatan ratu-ratuan itu tentu orang yang paling tidak bermoral, tidak professional, tidak menghargai identitas orang lain, serta tidak menunjukkan jati diri orang yang berpendidikan tinggi. Karena apa yang dia lakukan dengan kegiatannya itu, merupakan sebuah bentuk penistaan terhadap identitas rakyat Aceh.

Saya berharap apa yang dilakukan oleh Liliana, mendapat respon oleh Pemerintah Aceh. Jangan asyik bicara MoU Helsinki, UUPA. Lihat itu!

Lihat itu wahai Gubenur Aceh!

Lihat itu wahau Wakil Gubernur Aceh!

Lihat itu wahai DPR Aceh!

Lihat!

Hanya seorang Liliana, anda tidak bisa melakukan apapun. Bangsa ini dihina oleh kaum hedonis. Lalu, kenapa pula kita gemar mencambuk yang di dalam, bila orang luar, yang tak punya malu, mencatut identitas kita –untuk kegiatan jahiliyahnya- anda sebagai pemimpin tidak bereaksi apa-apa?
loading...